PENYEBAB DI BUBARKANNYA BP MIGAS
PENDAHULUAN
Di
Indonesia, harga BBM sering mengalami kenaikan disebabkan alasan pemerintah
yang ingin mengurangi subsidi. Tujuan dari pengurangan tersebut dikatakan
adalah agar dana yang sebelumnya digunakan untuk subsidi dapat dialihkan untuk
hal-hal lain seperti pendidikan dan pembangunan infrastruktur. Di sisi lain,
kenaikan tersebut sering memicu terjadinya kenaikan pada harga barang-barang
lainnya seperti barang konsumen, sembako dan bisa juga tarif listrik sehingga
selalu ditentang masyarakat. Seperti sekarang konflik soal Migas yang semakin
menjadi perhatian,sehingga menyebabkan BP MIGAS bubar. Mahkamah Konstitusi (MK)
menyatakan keberadaan BP Migas, yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi, bertentangan dengan UUD 1945, karena itu harus
dibubarkan. Hakim konstitusi juga menilai BP Migas yang hanya mengatur industri
hulu migas terpisah dari hilir (terjadi proses unbundling) justru lebih
memperbesar peluang pihak asing menguasai industri migas Indonesia. Keputusan
MK kontan memicu pro dan kontra. Pihak yang kontra, terutama BP Migas,
menyatakan keputusan itu tidak tepat.
Pertama;
bila hendak membubarkan BP Migas seharusnya lebih dulu merevisi atau membatalkan
UU Nomor 22 Tahun 2001 karena keberadaan BP Migas diatur dan merupakan amanat
regulasi tersebut.
Kedua;
pembubaran itu berisiko merugikan negara karena ada 302 kontrak karya atau
kontrak kerja sama perminyakan yang menunggu persetujuan BP Migas. Nilai
kontrak kerja sama itu 70 miliar dolar AS atau setara Rp 630 triliun. Di
samping kontrak yang menunggu penandatanganan, ada penundaan pemprosesan
peralatan perusahaan minyak (rig) milik Niko Resources di Bea dan Cukai, yang
berisiko merugikan perusahaan itu Rp 300.000 per hari.
Ketiga;
pembubaran tersebut membuat nasib karyawan BP Migas tidak menentu. Keempat;
menjadi preseden pembubaran badan/ lembaga yang lain, yang bisa menciptakan
pandangan ada ketidakpastian iklim investasi di Indonesia.
Bila mengkaji secara kritis,
ada beberapa hal yang benar sebagaimana disuarakan pihak yang kontra, yakni
menyangkut revisi UU Nomor 22 Tahun 2001. Tetapi hal lain, seperti kerugian
negara akibat kontrak yang akan datang yang harus ditandatangani BP Migas dan
kerugian perusahaan migas karena ada peralatan tertahan di Bea dan Cukai,
kurang bisa diterima.
Bila nanti pemerintah segera
mengambil alih wewenang, dua hal itu pasti segera dapat ditanggulangi. Kontrak
yang sudah ada pun tak akan dibatalkan karena ada adagium tentang kesucian
kontrak.
Dikuasai Asing
Penulis lebih setuju dengan apa
yang disampaikan pihak yang propembubaran BP Migas.
Pertama; pemisahan industri
hulu yang ditangani BP Migas dan hilir oleh Pertamina memang membuat industri
migas terpecah (unbundling). Keterpecahan ini membuat pihak asing mudah
melakukan rekayasa untuk menguasai industri migas Indonesia.Dengan membubarkan
BP Migas dan menarik urusan hulu ke pemerintah maka pemerintah menguasai
kembali industri migas sebagai satu kesatuan sehingga penguasaan asing atas
industri migas Indonesia bisa dicegah.
Kedua; keberadaan BP Migas yang
merupakan semacam badan swasta, mewakili pemerintah dalam penandatangan kontrak
karya perminyakan, telah menurunkan derajat pemerintah. Penurunan derajat ini
berarti menurunkan kedaulatan negara atas penguasaan negara terhadap
sumber-sumber daya migas sehingga bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Ketiga; biaya pengelolaan migas
di bawah BP Migas ternyata dari waktu ke waktu mengalami kenaikan sehingga
mencerminkan inefisensi. Inefisiensi tersebut masih ditambah dengan gaji tinggi
para pegawai BP Migas. Beberapa kesaksian menyatakan gaya hidup beberapa
direksi sangat mewah.Sebenarnya ada harapan lebih besar setelah pembubaran BP
Migas yang salah satu tujuannya mengembalikan kedaulatan negara atas
pengelolaan migas. Pembubaran BP Migas mungkin baru langkah awal. Langkah
berikutnya yang lebih progresif adalah merenegosiasi kontrak dan menasionalisasi
pengelolaan migas.
PEMBAHASAN
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi (
BPMIGAS) adalah lembaga yang dibentuk
PemerintahRepublik Indonesia pada tanggal
16 juli 2002 sebagai pembina dan pengawas
Kontraktor Kontrak Kerja Sama
(KKKS) di dalam menjalankan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan
pemasaran migas
Indonesia. Dengan
didirikannya lembaga ini melalui UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
serta PP No 42/2002 tentang BPMIGAS, masalah pengawasan dan pembinaan kegiatan
Kontrak Kerja Sama yang sebelumnya dikerjakan oleh
PERTAMINA selanjutnya ditangani langsung oleh
BPMIGAS sebagai wakil pemerintah.
Namun apa latar belakang dibentuknya BP Migas yang
menjadi dasar UU No 22 Tahun 2001 tentangMigas?
Berdasarkan Undang-Undang No 8 Tahun 1971 tentang Pertamina yang berlaku sejak
1 Januari 1972, Pertamina diposisikan sebagai satu-satunya perusahaan negara
yang melaksanakan penguasaan minyak dan gas bumi (Migas) secara terintegrasi
mulai dari hulu sampaihilir. Melalui undang-undang ini, negara memberikan
kekuasaan pertambangan dan Migas kepada Pertamina. Tugas penyiapan lahan
pertambangan Migas, Pengelolaan, Pengendalian dan monitoring pekerjaan
pencarian minyak dan gas bumi oleh kontraktor semua dilakukan Pertamina.
"Selama kiprahnya di bawah UU No. 8 Tahun 1971 harus diakui Pertamina
telah menjadi satu entitas bisnis paling strategis bagi Indonesia untuk
melaksanakan pembangunan. Akan tetapi, di sisi lain monopoli Pertamina sebagai
regulator sekaligus pemain menciptakan korupsi dan penyalahgunaan
wewenang”.Dalam menjalankan tugas tersebut, Pertamina dapat mengadakan
kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil. Dalam prakteknya,
karena keterbatasan modal dan teknologi, Pertamina banyak menandatangani
kontrak dengan perusahaan-perusahaan asing terutama untuk menggarap
wilayah-wilayah sulit. "Contoh kontrak yang ditandatangani dengan pihak
asing adalah Kontrak Bagi Hasil untuk mengelola Blok Mahakam di timur laut
Balikpapan dengan perusahaan asal Perancis TOTAL E&P INDONESIE. Untuk
mengelola perusahaan-perusahaan minyak asing tersebut, Pertamina membentuk
Badan Koordinasi Kontraktor Asing yang kemudian menjadi Badan Pengusahaan dan
Pembinaan Kontraktor Asing (BPPKA). Kontrak-kontrak jangka panjang pada masa
lalu tersebut masih menyisakan dominasi kontraktor asing dalam kegiatan usaha
hulu migas Indonesia saat ini," tulis Buku Putih BP Migas. Korupsi dan
Penyalahgunaan Wewenang. Menjadi persoalan, selama kiprahnya di bawah UU No. 8
Tahun 1971 harus diakui adanya monopoli Pertamina sebagai regulator sekaligus pemain
menciptakan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Pada tahun 1974 sampai awal
1975, Pertamina sempat tidak dapat menyelesaikan kewajibannya kepada pemerintah
dengan jumlah kewajiban mencapai US$1 miliar. "Jumlah utang Pertamina yang
besar ini mempunyai pengaruh luas terhadap keuangan negara, cadangan devisa,
pinjaman luar negeri, dan perkreditan dalam negeri. Di luar itu, kasus-kasus
yang membelit Pertamina, misalnya kasus Karaha Bodas, menyebabkan negara
terimbas risiko gugatan perdata akibat masalah-masalah yang seharusnya menjadi
urusan bisnis Pertamina," ungkap Buku Putih BP Migas lagi. Kondisi ini
melahirkan ide untuk mengkaji ulang sentralisasi kewenangan Pertamina. Pada
akhir tahun 1996, pemerintah mengajukan rancangan undang-undang migas yang baru
dengan maksud memisahkan peran regulator dan operator untuk menciptakan tata
kelola industri migas yang lebih sehat. Melalui pembahasan yang alot dan sempat
mendapatkan penolakan DPR, akhirnya DPR mengesahkan RUU Migas menjadi UU No.22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Kehadiran Undang-undang No 22 tahun
2001 mengubah fungsi dan peran Pertamina. Perubahan yang paling mendasar adalah
perpindahan fungsi dan pekerjaan, jika yang sebelumnya berada di Pertamina,
setelah kehadiran UU No.22 Tahun 2001 dipindahkan ke institusi lainnya.
Pertama, fungsi pengawasan dan pengendalian dikeluarkan dari kewenangan
Pertamina. Untuk itu dibentuk badan baru yaitu Badan Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Migas (BP Migas) dan Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas (BPH Migas).
Kedua, kegiatan hulu migas yaitu menyiapkan wilayah kerja dan melakukan tender
wilayah kerja kewenangannya berpindah ke Ditjen Migas Kementerian ESDM. Ketiga,
pengelolaan hilir migas terutama terkait dengan ketentuan-ketentuan distribusi
BBM dan LPG diatur oleh Kementerian ESDM. Demikian juga dengan penetapan kuota
volume BBM dan gas ditetapkan oleh BPH Migas bersama-sama dengan Dirjen Migas.
Selama kuasa pertambangan dijalankan BP Migas, Pertamina
sebagai BUMN yang menangani masalah kebutuhan migas nasional, banyak dirugikan.
Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu , Ugan Gandar. Salah
satunya, sebut Ugan, yakni pemberian kontrak kerja pertambangan migas yang
lebih mengutamakan perusahaan-perusahaan asing. ''Pekerja-pekerja migas di
Pertamina, sebenarnya mampu melakukan ekspoitasi dan eksplorasi di wilayah
penambangan mana pun di Indonesia. Namun kenyataannya, selama ini Pertamina
tidak pernah mendapat kepercayaan untuk menngerjakan hal itu,''
Bahkan ladang-ladang migas yang memiliki cadangan sangat besar, lebih banyak
diberikan pada perusahaan-perusahaan asing mulai dari Chevron, BP, Total dan
perusahaan-perusahaan asing lainnya. Sedangkan Pertamina, hanya dapat
mengeksplorasi ladang-ladang migas kecil. ''Kalau ditotal, dari produksi minyak
sekitar 900 ribu barel per hari, ladang minyak yang di eksplorasi Pertamina
hanya dapat menghasilkan sekitar 170 juta barel per hari. Sebagian besar
lainnya, dihasilkan ladang-ladang minyak yang dikuasai perusahaan-perusahaan
asing,'' katanya. Contohnya, kata Ugan, seperti blok eksplorasi di kawasan Duri
Kepulauan Riau. Blok penambangan minyak yang mampu menghasilkan minyak bumi
hingga 300 ribu barel per hari itu, sampai saat ini dikuasai perusahaan minyak
Chevron. Sementara Pertamina, hanya menggarap blok-blok kecil yang hanya
menghasilkan belasan atau puluhan ribu barel per hari. ''Padahal Pertamina
mampu melakukan kegiatan seperti yang dilakukan oleh perusahaan asing tersebut.
Pekerja-pekerja lapangan di perusahaan asing itu, kebanyakan juga
insinyur-insinyur Indonesia yang siap bergabung ke Pertamina bila ladang minyak
itu dikelola Pertamina.
Pemerintah menjamin bahwa kontrak-kontrak seluruh
perusahaan terutama BUMN yang berkaitan dengan Badan Pelaksana Hulu Minyak dan
Gas Bumi (BP Migas) akan terus berjalan. Bahkan meski BP Migas sudah dibubarkan
oleh Mahkamah Konstitusi.
"Pemerintah sudah menjamin (seluruh kontrak)
akan terus jalan. Tidak ada masalah," kata Menteri BUMN
Dahlan Iskan di Kementerian BUMN Jakarta.
Menurut Dahlan, BUMN yang berpartisipasi dalam
proyek-proyek yang ditenderkan oleh BP Migas sebelumnya dijamin akan tetap
menjalankan proyek tersebut sebaik-baiknya. Meski BP Migas dibubarkan, seluruh
tender yang berkaitan dengan perusahaan BUMN tidak ada yang dirubah kontraknya.
"Yang penting tidak akan berubah," tambahnya.
Sekadar catatan, Dahlan pernah memerintahkan BUMN
untuk merebut kontrak migas yang ditenderkan oleh BP Migas sebab nilai
kontraknya per tahun mencapai Rp 200 triliun.
Oleh sebab itu, ia membuat tujuh kluster untuk
mengambilalih tender proyek migas tersebut. Adapun BUMN yang masuk dalam tujuh
kluster, antara lain PT Rekayasa Industri Persero, PT Pertamina Persero, PT
Wijaya Karya Tbk, PT Waskita Karya Persero, PT Hutama Karya Persero, PT Adhi
Karya Tbk dan PT Asuransi Jasindo.
Ketujuh BUMN akan dipimpin oleh Rekayasa
Indonesia. Dahlan memilih Rekayasa Industri karena sudah terlebih dahulu dan
mumpuni menggarap proyek-proyek migas. "Kalau kita bisa merebut sepertiga
dari yang ditenderkan itu saja sudah mencapai Rp 70 triliun,"Kepala Badan
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Gas dan Minyak Bumi (BP Migas), R Priyono
menilai, jika putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membubarkan BP Migas atas alasan
banyak kedaulatan asing di badan ini, hal itu merupakan warisan PT
Pertamina. "Alasan banyak kedaulatan asing, ini bukan BP Migas yang
undang, karena yang datangkan asing adalah Pertamina," Selain itu,
turunnya produksi minyak dan gas juga merupakan warisan Pertamina yang sudah
terjadi sejak tahun 1996. "Kalau produksi turun, itu warisan Pertamina
juga. Itu sudah tahun 1996. Jadi berat sekali. Yang dipermasalahkan Kurtubi,
itu warisan Pertamina semua,
PENUTUP
Kesimpulan:
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) dibubarkan karena tidak sesuai dengan
UU yang menyatakan keberadaan BP Migas, yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, bertentangan dengan UUD 1945, karena itu
harus dibubarkan. Hakim konstitusi juga menilai BP Migas yang hanya mengatur
industri hulu migas terpisah dari hilir (terjadi proses unbundling) justru
lebih memperbesar peluang pihak asing menguasai industri migas Indonesia. BP
MIGAS juga sangat banyak merugikan PERTAMINA, sehingga MIGAS akan diambil alih
oleh PERTAMINA, Pekerja-pekerja migas di Pertamina, sebenarnya mampu melakukan
ekspoitasi dan eksplorasi di wilayah penambangan mana pun di Indonesia. Namun
kenyataannya, selama ini Pertamina tidak pernah mendapat kepercayaan untuk
menngerjakan hal itu,''
Bahkan ladang-ladang migas yang memiliki cadangan sangat besar, lebih banyak
diberikan pada perusahaan-perusahaan asing mulai dari Chevron, BP, Total dan
perusahaan-perusahaan asing lainnya. Sedangkan Pertamina, hanya dapat
mengeksplorasi ladang-ladang migas kecil. ''Kalau ditotal, dari produksi minyak
sekitar 900 ribu barel per hari, ladang minyak yang di eksplorasi Pertamina
hanya dapat menghasilkan sekitar 170 juta barel per hari. Sebagian besar
lainnya, dihasilkan ladang-ladang minyak yang dikuasai perusahaan-perusahaan
asing,''
Daftar Pustaka:
www.tempo.com